Kecelakaan Merpati Akibat Kewaspadaan Menurun

  • Oleh :

Senin, 07/Mei/2012 21:20 WIB


JAKARTA (Berita Trans) - Investigator Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Mardjono Siswosuwarno menyatakan laporan akhir investigasi kecelakaan pesawat dengan registrasi PK-MZK dengan nomor penerbangan MZ 8968 dari bandara Domine Euard Osok, menuju bandara Utarom, Kaimana, Papua Barat milik PT Merpati Nusantara Airlines menunjukkan turunnya kewaspadaan pilot dikarenakan mencari landasan pacu ketika akan melakukan pendaratan (approach). "Dari rekaman, pada saat-saat akhir penerbangan, kedua pilot disibukkan mencari-cari landasan pacu, sehingga mengakibatkan berkurangnya kewaspadaan (situasional awareness)," katanya dalam konferensi pers laporan akhir investigasi kecelakaan pesawat MA 60 di Bandara Utarom di Kementerian Perhubungan, Jakarta, Senin (7/5).Menurut Mardjono, kedua pilot membatalkan pendaratan dengan menaikkan pesawat akibat landasan pacu tidak terlihat. "Karena landasan pacu tidak terlihat, maka pilot memutuskan untuk membatalkan approach dengan menaikkan pesawat sambil berbelok ke kiri untuk terbang di atas laut. Ketinggian pesawat mencapai 585 kaki, dan kemiringan pesawat bertambah dari 11 menjadi 38 derajat ke kiri," jelasnya.Ia mengungkapkan hasil investigasi KNKT menunjukkan minimnya komunikasi. Alhasil, keputusan yang diambil terlambat. "Kedua pilot tidak melakukan crew briefing dan membaca check list. Laju penurunan (rate of descent) bertambah secara signifikan hingga mencapai sekitar 3.000 kaki per menit, dan akhirnya pesawat masuk ke laut," paparnya.Pada kesempatan yang sama, Ketua KNKT Tatang Kurnadi mengungkapkan pesawat yang mengangkut 19 penumpang itu menggunakan aturan Instrument Flight Rules (IFR). Padahal, bandara Kaimana tidak memiliki sarana untuk mendukung instrumen pendaratan sehingga harus dilakukan secara visual. Prosedur penerbangan secara visual mensyaratkan jarak pandang minimum 5 kilometer dan ketinggian dasar awan 1.500 kaki. Jadi, seharusnya pilot sudah harus membatalkan pendaratan saat instrumen pesawat memberi peringatan. "Pilot mendapatkan informasi dari Sorong, cuaca di Bandara Kaimana hujan dan jarak pandang hanya 8 kilometer," tuturnya.Tatang menuturkan kedua pilot hanya berfokus untuk menemukan landasan pacu hingga ketinggian 376 kaki. Namun, akibat gangguan pandangan, pilot membatalkan ancang-ancang pendaratan dan menaikkan ketinggian sambil berbalik ke kiri. "Investigasi kami tidak menemukan briefing dilakukan antara pilot in command (PIC) dengan co-pilot selama penerbangan. Perbedaan usia keduanya yang sangat tajam, PIC 55 tahun dan co-pilot 36 tahun mengindikasikan komunikasi kurang harmonis," terangnya.Selain itu, keduanya memiliki jam terbang rendah untuk menerbangkan MA-60. Dimana, PIC 199 jam dan co-pilot 234 jam. Padahal seharusnya minimal masing-masing pilot mempunyai 250 jam terbang. "Hal-hal tersebut ikut mempengaruhi kondisi psikologis keduanya saat menghadapi masa-masa kritis," ucapnya.Adapun, Tatang menambahkan KNKT merekomendasikan kepada PT Merpati Nusantara Airlines untuk meningkatkan sistem manajemen pelatihan. Selain itu, prosedur penerimaan pesawat, antara lain dokumentasi dan manual sesuai persyaratan CASR.Untuk Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, lanjut Tatang, KNKT merekomendasikan prosedur pemeriksaan pesawat sebelum menerbitkan initial airworthiness certificate. Di sisi lain, peninjauan kembali silabus pelatihan guna memenuhi persyaratan kualifikasi dan crew pairing. (ali s)