Mesti Bilang Wow Gitu ke PSC on Ticket?

  • Oleh :

Kamis, 11/Okt/2012 11:44 WIB


Urusan PSC on Ticket, yang digeber oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan, sejatinya cuma berbasis kepada asumsi memotong waktu penumpang pesawat untuk antre membayar passenger service charge (PSC) di bandara.Orientasi kepada kualitas pelayanan tersebut memang bagus walau sebenarnya bukan barang baru. Pihak pengelola bandara (PT Angkasa Pura I dan II) pernah memberlakukannya. Hanya saja distop karena diduga tak begitu mulus proses transaksi (transfer) uang dari penumpang, yang dipolling pihak airlines ke pengelola bandara.Penyetopan itu juga karena ribetnya transaksi, yang untuk penerbangan internasional, mesti menunggu semacam clereance dulu kalkulasinya dari IATA (International Air Transport Association).Belum lagi sesungguhnya urusan PSC merupakan domain bisnis dari pengelola bandara. Dengan demikian, pihak airlines tidak punya kewajiban apalagi mesti ikhlas untuk mengerjakan kolekting dana dari penumpang. Walaupun ada semacam fee, tetapi tak sebanding dengan cost membangun dan mengintegrasikan sistem, waktu, dan SDM yang dibutuhkan.Kalau sekarang ada semacam pressure agar PSC on ticket diberlakukan lagi, dan itu karena meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, rasanya sah-sah saja. Juga adalah jempolan ketika akhirnya manajemen PT Angkasa Pura I, PT Angkasa Pura II dan PT Garuda Indonesia teken kerjasama PSC on Ticket. Kerjasama berupa PSC on ticket itu diberlakukan mulai 4 Oktober 2012.Tetapi memang tidak sesedehana asumsinya. Praktik PSC on ticket diprediksi bakal betul-betul merepotkan, sehingga teramat sulit untuk diperluas kepada airlines lain, terutama maskapai swasta. Prediksi ini yang agaknya menyebabkan kerjasama tiga BUMN tadi hanya berlaku satu tahun dan cuma penerbangan domestik.Selain memberi pekerjaan tambahan, yang bukan bagian dari fungsi dan tugas, PSC on ticket bagi airline berarti juga mesti open bila sistemnya bisa diakses oleh pengelola bandara, begitu pula sebaliknya. Memberi kunci akses terhadap sistem seperti memberi kunci kamar tidur kepada tetangga sebelah rumah. Berbagai data dan informasi menjadi terbuka. Bisa jadi muncul kekhawatiran data dan informasi digunakan untuk kepentingan lain. Belum lagi dibutuhkan biaya khusus untuk membangun sistem baru dan mengintegrasikan sistem tersebut, walau untuk kepentingan parsial PSC on ticket. DETILSayangnya, memang Dahlan Iskan selaku menteri memberikan instruksi hal teknis dengan detil seperti itu. Mesti PSC on Ticket. Semestinya cukup pada tataran kebijakan saja. Kalau asumsinya kemudahan penumpang membayar PSC atau airport tax, ya cukup instruksi sampai disitu saja, tak perlu masuk kepada hal teknis berupa PSC on ticket.Kalau instruksinya berupa memberikan kemudahan kepada penumpang dalam membayar PSC, manajemen PT Garuda Indonesia, PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II akan secara cerdas dan tuntas merumuskannya. Bisa outputnya bukan PSC on ticket.Mungkin model yang dipakai pengelola Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, bisa diadopsi. Penumpang langsung bayar PSC ketika cek in. Sehingga tidak perlukan lagi waktu dan konter khusus membayar PSC.Saya pernah tanyakan perihal model pembayaran PSC tersebut ke General Manager Sultan Hasanuddin International Airport (SHIAM), Rachman Syafrie. Dia mengungkapkan mekanisme pembayaran PSC itu diberlakukan sejak bandara baru ini dioperasikan pada tahun 2009.Ada 48 konter cek in didesain multiuser. Di konter itu disediakan perangkat cek in yang terintegrasi dengan transaksi PSC. Seluruh airlines dengan suka rela menggunakannya karena merupakan bagian dari peningkatan kualitas pelayanan kepada penumpang.Ternyata proses transfer dana dari airlines ke pengelola Bandara SHIAM lancar-lancar saja. Transaksi bahkan bisa digelar setiap hari. Dengan model begini, selain penumpang senang, airlines dan pengelola bandara juga riang. Kalau model begini, bolehlah kita kompak bilang: Wow!(agus w/email: [email protected])