Kisah Laura Lazarus Pramugari Selamat di 2 Kali Kecelakaan Pesawat

  • Oleh :

Selasa, 10/Feb/2015 08:12 WIB


JAKARTA (beritatrans.com) - Mantan pramugari Laura Lazarus berusaha bangkit kembali setelah mengalami kecelakaan pesawat yang diawakinya, yang membuatnya cacat permanen. Seperti apa perjuangannya? Berikut tulisan Nyata (Grup JPNN) dan dirilis Kalteng Pos.Tragedi AirAsia QZ8501 28 Desember 2014 yang merenggut seluruh penumpang dan awaknya, seakan mengingatkan Laura Lazarus (29) pada kecelakaan pesawat yang dialaminya sepuluh tahun silam. Ya, meski sudah 10 tahun berlalu, perempuan yang akrab disapa Lala itu tidak bisa melupakan kecelakaan pesawat yang pernah dialaminya.Tepatnya 30 November 2004, saat pesawat yang diawakinya tergelincir ke luar landasan Bandara Adi Sumarmo, Solo. Sekilas memang tidak tampak ada kekurangan pada diri Lala. Hanya tongkat penyangga yang membantunya berjalan, yang menunjukkan bahwa kaki Lala bermasalah. Apalagi, kaki kanannya juga dipasang penyangga berwarna hitam.BANYAK JAHITANSaat Nyata menemui di rumahnya, di daerah Kelapa Hibrida, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (8/1) lalu, terlihat wajah dan bagian tubuh lainnya terlihat utuh. Namun, bila diperhatikan dari dekat, di pipi kanan Lala terdapat garis halus sepanjang sepuluh sentimeter, bekas jahitan.Di sebelah sini ada jahitan bekas operasi penanaman plat untuk mengganti tulang pipi yang hancur, terang Lala sambil memperlihatkan lebih dekat tulang pipinya kepada Nyata Sekarang kondisinya sudah lebih baik. Sebelumnya, kondisinya sangat parah, imbuhnya.Tidak hanya tulang pipinya saja yang hancur, kaki, tangan, dan perut Lala pun cedera parah. Bahkan tulang bahu kanannya bergeser, tulang pinggangnya patah, dan pinggul bagian belakangnya banyak luka bekas jahitan.Bila mengingat kejadian itu, mustahil rasanya aku bisa seperti ini. Puji Tuhan, aku masih diselamatkan dan kini masih bisa menjalani hidup dengan baik, ucap syukur Lala.KecelakaanMenjadi pramugari memang menjadi mimpi Lala. Karena itulah dia merasa sangat bangga ketika pada akhir 2002, di usianya yang ke-19 tahun, mimpinya terwujud. Dia menganggap dirinya adalah perempuan yang beruntung. Lala yang merasa dirinya berasal dari keluarga kurang berada, bisa menjadi seorang pramugari.Namun, mimpi yang cepat terwujud itu, seakan juga cepat sirna. Betapa tidak, baru 1,5 tahun merasa bahagia dan bangga menjadi seorang pramugari, Lala mengalami musibah besar yang akhirnya mengubah hidupnya. Juli 2004, pesawat dengan nomor register PK-LMV rute Jakarta-Palembang yang diawakinya, tergelincir hingga 175 meter dari landasan Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, Sumatera Selatan.Di bawah guyuran deras, Lala dan teman-temannya berusaha menenangkan penumpang dan mengevakuasinya keluar dari pesawat. Tanpa alas kaki, Lala berjalan di lumpur, tanpa memedulikan barang bawaannya. Rasa gugup dan takut coba ditepisnya demi menyelamatkan para penumpang.Dalam doanya, dia sangat berharap tidak ada yang jadi korban. Puji Tuhan, harapanku terwujud. Tidak ada satu pun yang jadi korban, ucap Lala yang langsung berpelukan dan menangis sejadi-jadinya bersama teman-temannya. Meski trauma, Lala harus cepat bisa menyingkirkan rasa itu, karena dia harus segera kembali bertugas.Sebagai awak pesawat, dia harus siap menerima segala risiko yang terjadi. Namun, dia merasa semangat kerjanya mulai kendur. Lala mulai bosan menjadi pramugari. Tapi, mau apalagi. Aku harus berada dalam impianku menjadi seorang pramugari, ujarnya.Saat itulah Lala mulai menyadari bila hidupnya tidak berarti apa-apa ketika dihadapkan pada ujian Tuhan. Lala merasa nyawanya dipertaruhkan dai imannya diuji. Dia berpikir, usia manusia tidak ada yang tahu. Aku mulai memikirkan mami yang sudah susah payah membesarkan aku sampai mengantarkanku jadi pramugari, kenangnya.Kecelakaan pesawat di Palembang yang dialaminya, membuat Lala jadi lebih dekat dengan keluarganya. Lala yang merasa belum berperilaku baik kepada orangtua, berusaha membalas kebaikan mereka. Terutama ibunya. Tentu saja ibunda Lala sangat senang melihat perubahan itu.Mereka jadi kerap berjalan-jalan, berbelanja, dan makan bersama di luar. Saat itulah Lala sangat menikmati kasih sayang keluarganya. Lala mengaku, saat itu dia seakan punya firasat bila suatu hari nanti tidak akan bisa pulang lagi ke rumah. Rasanya seperti akan pergi jauh, tapi aku sendiri tidak tahu mau ke mana, ucap anak pertama dari dua bersaudara itu, lirih.Semakin hari, perasaan itu semakin mengganggu pikiran Lala. Namun, dia berusaha membuangnya jauh-jauh dengan memilih jalan-jalan bersama ibunya. Namun, takdir berkata lain. Apa yang ditakutkan Lala akhirnya terjadi juga. Di penghujung November 2004, Lala yang sebenarnya tidak bertugas, mendapat panggilan mendadak.Lala yang tengah asyik berbelanja dengan ibunya pun langsung mengakhiri kegiatannya itu. Aku buru-buru pulang, karena mobil penjemput akan tiba di rumah. Aku terpaksa mengajak mami pulang, meski belanjanya belum selesai, cerita Lala.Sampai di rumah, Lala segera menyiapkan diri. Karena tergesa-gesa, Lala tidak sempat merias dan menata rambutnya. Bahkan, yang menyiapkan perlengkapannya pun sang ibu. Ibundanya pula yang membantu menyeret kopernya menyusuri gang sempit.Saking tergesa-gesanya, aku lupa tidak membawa ponsel dan anting-anting. Aku sempat minta tolong mami membawakannya untukku. Namun entah kenapa mami tidak juga memberikannya, ujar anak pertama dari dua bersaudara pasangan Fanny (57) dan Johny (alm) itu.Rupanya, Lala dan ibunya lupa karena terlalu bahagia dengan rencana makan malam sepulang Lala bertugas. Tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Lala bergeges menuju flops dan membubuhkan tanda tangan pada kertas absen. Lala melihat siapa saja temannya yang bertugas hari itu. Ternyata sahabatku Dessy juga bertugas hari itu, ujarnya.Namun, saat itu Lala menangkap sesuatu yang aneh pada diri Dessy. Dessy yang biasanya ceria, hari itu jadi pendiam. Begitu juga dengan wajah kapten dan kru lainnya. Lala bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa kondisinya seperti itu. Namun, dia berusaha membuang jauh kekhawatirannya, dan berharap perjalanan ke Solo lancar.GUNCANGAN HEBATFirasat buruk Lala benar-benar terbukti. Penerbangan Jakarta-Solo dilalui dengan cukup berat. Berkali-kali pesawat mengalami guncangan hebat, hingga akhirnya dalam suasana gelap dan mencekam mendarat di Bandara Adi Sumarmo Solo.Suara gemuruh dari kedua engine thrust reserver yang telah dibuka guna menghentikan laju pesawat, terdengar memekakkan telinga. Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara benturan keras yang membuat badan pesawat terguncang hebat.Keadaan jadi tidak menentu. Semua lampu padam. Pesawat bergerak tidak terkendali dan terguncang hebat. Seluruh penumpang dan awak pesawat berteriak histeris. Lantai kabin pesawat terkoyak bagai selembar kertas robek. Dalam hitungan detik, Lala merasakan berbagai benda menghantam tubuh dan wajahnya.Sayup-sayup terdengar rintihan dan erangan memilukan, hingga akhirnya Lala tidak ingat apa-apa lagi. Dia tak mampu membuka mata. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan tidak bisa digerakkan. Dia juga mencium bau anyir di wajahnya. Ternyata, itu bau darah yang mengalir deras dari wajahku, cerita Lala, pilu.Saat itu, Lala merasa ajalnya sudah dekat. Hatinya menangis, teringat janji ingin membahagiakan orangtuanya dan makan malam sepulang bertugas. Dalam hati, dia berdoa: Tuhan, beri aku kesempatan untuk menepati janji pada orangtuaku. Aku ingin memerbaiki hubungan dengan orangtua dan memerbaiki kehidupanku.DISANGKA MENINGGALUsai mengucapkan doa itu dalam hati, Lala hilang kesadaran. Dia akhirnya dievakuasi oleh petugas, dan diletakkan di deretan para korban meninggal. Rupanya, petugas mengira dia sudah meninggal. Untungnya ada petugas yang mendengar erangan dan rintihanku, hingga aku segera dilarikan ke rumah sakit, ujarnya seraya mengucap syukur.Tiga hari lamanya Lala koma. Selama itu, dokter tiga kali mengoperasi kaki Lala yang hancur. Lala baru siuman ketika lamat-lamat mendengar suara ibunya memanggilnya. Ketika membuka mata, Lala tidak mampu menggerakkan tubuhnya sama sekali.Dia melihat berbagai peralatan kedokteran tersambung ke tubuhnya. Ada infus, kantung darah, oksigen, dan alat bantu lainnya. Aku menangis. Aku bersyukur masih diberi kesempatan hidup kedua oleh Tuhan, ucapnya, lirih. Sejak siuman, Lala selalu bertanya kepada setiap orang yang menjenguknya, seperti apa kondisi penumpang.Namun, mereka selalu menutupi fakta sebenarnya. Dia baru tahu kondisi sebenarnya setelah melihat siaran berita di televisi. Dia melihat kondisi pesawat hancur dan banyak korban meninggal hingga membuatnya sangat down. Berhari-hari dia menangisi para penumpang dan temannya yang meninggal.Dia bertanya kepada orangtuanya, mengapa tidak meninggal juga. Mendengar itu, sang ayah meminta Lala kuat menghadapi kenyataan. Tuhan masih memberi kesempatan hidup kedua. Ayo, sekarang kamu harus bisa mulai hidup baru. Itu kata ayah kepadaku, ungkap Lala menirukan perkataan ayahnya waktu itu.Perkataan ayahnya itu seakan membius Lala. Lala pun mencoba bangkit untuk memulai hidup baru. Saat itu Lala juga menyadari, tubuhnya sudah remuk di sana-sini. Tangan kanan dan tulang pinggangnya patah, tulang wajah bagian kanannya hancur.Kaki kanannya juga patah di dua tempat, sehingga dokter sempat menyarankan agar diamputasi namun ditolak oleh ibunya. Karena kondisiku sangat parah, akhirnya perawatanku dipindah ke Rumah Sakit Gleneagles di Singapura, cerita Lala.Dia ditangani oleh tujuh dokter dari berbagai keahlian. Tidak kurang dari 15 kali operasi harus dilakukan. Tiga kali operasi pertama untuk membersihkan luka-luka di sekujur tubuhnya. Sedang sisanya untuk memerbaiki kondisi tubuh Lala. Usai operasi, Lala juga masih harus menjalani rehabilitasi medik.Seperti belajar duduk, menggerakkan lengan, dan masih banyak lagi. Yang membuat Lala heran, dia tidak boleh sama sekali bercermin. Hingga suatu hari, setelah satu bulan dirawat di Singapura, saat menjalani terapi, tanpa sengaja Lala melihat wajahnya di cermin.Betapa kaget Lala melihat wajahnya penuh bekas jahitan tidak karuan. Pantas aku tidak boleh bercermin, kata Lala. Saat itu aku benar-benar stres. Aku ragu lukaku bisa sembuh. Namun mami selalu memberiku semangat agar bisa bangkit lagi, imbuhnya. PULANGBertepatan dengan tahun baru 2005, Lala diperbolehkan meninggalkan rumah sakit dan tinggal di apartemen di sekitarnya yang bisa ditempuh dengan kursi roda. Sebenarnya aku belum pulih benar. Kakiku masih belum tersambung dan butuh tulang untuk menyambuh antara kaki atas dan bawah, ceritanya.Menurut dr Tan Jee Lim, dokter spesialis ortopedi yang menangani Lala, tulang penyambut kaki Lala masih dicarikan di Amerika. Dia janji saat ulang tahunnya Maret 2005, Lala sudah bisa berjalan. Namun, janji tinggal janji. Hingga Maret 2005 berlalu, tulang yang dijanjikan belum ada juga.Hampir setiap hari Lala menanyakan kapan tulang untuknya datang. Tapi jawabnya selalu sama, Belum. Hal itu membuat Lala frustrasi. Dia menangis sejadi-jadinya. Rasanya tidak ada lagi orang yang bisa kuandalkan. Bila sebelumnya aku merasa bisa mengerjakan semua keinginanku, kini harus bergantung pada orang lain, kenangnya, sedih.Lala mencoba menumpahkan keluhannya kepada orangtuanya di Jakarta lewat telepon. Usai menutup telepon, muncul lelaki 16 tahun asal Filipina yang juga pasien di RS yang sama. Dia juga menggunakan kursi roda. Melihat Lala menangis, lelaki itu mendekati dan bertanya kenapa dirinya menangis. Lala pun menceritakan apa yang terjadi.Mendengar ceritaku, dia membujukku agar tidak menangis. Bahkan, dia mengatakan dirinya kena kanker dan besok kakinya akan diamputasi. Dia bilang, nggak apa-apa diamputasi, yang penting masih bisa jalan, beber Lala. Ucapan lelaki itu menghentikan tangis Lala.Dia merasa malu. Betapa tidak, si lelaki yang penderitaannya lebih hebat darinya, masih bisa tabah. Sementara dirinya hanya bisa menangis meratapi nasib. Sejak itu Lala mencoba bangkit kembali. Dia kembali rajin mengikuti kebaktian di gereja yang selama ini nyaris dilupakannya. Dia tidak malu lagi walau harus duduk di kursi roda.Kesabaran Lala berbuah manis. Pertengahan Mei 2005, tulang yang dinantinya akhirnya datang. Namun, karena kakinya masih infeksi, penyambungan terpaksa ditunda. Bahkan, kalau infeksi tidak sembuh, kaki Lala harus diamputasi. Namun, saat itu Lala hanya pasrah.15 KALI OPERASIDia percaya Tuhan tidak mengizinkan kakinya diamputasi. Benar juga, setelah diberi antibiotik yang sangat menyiksa Lala, infeksi di kakinya sembuh. Pemasangan tulang pun dilakukan. Itulah operasi yang ke-15 kali. Puji Tuhan, operasi berjalan baik. Sampai akhirnya aku kembali ke Indonesia pada 17 Agustus 2005, meski harus tetap kontrol secara berkala dan melepas pen, terangnya.Kembali ke Indonesia, Lala semakin kuat dan bisa memaknai hidupnya. Dia menyadari Tuhan sudah sangat baik kepadanya. Karena itulah dia merasa punya tugas menyebarkan kebaikan Tuhan kepada semua orang. Aku adalah bukti kebesaran Tuhan itu ada, tegasnya.Kondisi tubuh Lala yang sudah hancur, dipulihkan Tuhan. Dia mampu berjalan tanpa alat penyangga. Lala seakan mendapat mukjizat. Namun, Tuhan belum ingin mengujinya lagi. Saat memberi pelayanan gereja di Indonesian Community Felowship (ICF) di Hongkong, tulang kering hasil implantnya remuk, hingga membuat Lala harus dirawat kembali.Hatinya kembali hancur. Setiap hari Lala hanya bisa meratapi nasibnya. Kaki kanannya harus dipasang alat penyangga lagi, dan itu butuh biaya tidak sedikit dan harus ditanggung sendiri, karena sejak 2007 biaya pemulihan Lala sudah dihentikan oleh perusahaan.Perusahaan merasa sudah memenuhi kewajibannya. Sedih rasanya, karena kondisiku masih seperti ini. Bekerja dengan kondisi seperti ini tentu sudah tidak memungkinkan, ujarnya seraya tersenyum getir. Namun, Lala tetap berusaha tegar. Dia mencoba mengambil hikmah dari kejadian yang dialaminya.Dia seakan mendapat kekuatan untuk memaafkan orang lain. Lala berdoa agar bisa menghadapi ujian dari Tuhan. Beruntung ibu dan adiknya sangat mendukungnya, sehingga Lala bisa kembali bangkit. Dia pun makin mantap memberikan pelayanan di gereja meski lumpuh.Dia juga mulai mengumpulkan tulisan dan merevisi cover buku pertamanya The New Unbroken Wings yang sudah diterbitkan tahun 2008. Buku terbarunya itu diluncurkan Agustus 2014 lalu, dan diedarkan melalui Growing Publising milik Lala sendiri.Senang bisa kembali berbagi pengalaman hidup dengan banyak orang melalui buku ini, ujar Lala seraya tersenyum. Usaha penerbitan Lala yang baru dirintis enam bulan, seudah mencetak 10 buku. Salah satunya buku karya Lala dan ibunya, Kazoku, yang berarti keluarga. Kazoku mengisahkan kehidupan nyata keluarga kami, terang Lala.Selain itu, Lala juga menerima pesanan kue buatan ibunya secara online, serta menyelesaikan album rohaninya berjudul Ku Bersyukur Buat Kasihmu dan Laura Lazarus. Kesibukanku saat ini adalah jawaban dari Tuhan. Aku seperti kehilangan semua rasa sedih, kecewa dan putus asa. Tuhan sangat baik padaku, ucap syukur Lala.*uwie/heni

Tags :