Deradikalisasi Gagal, Muncul Terorisme Berkelanjutan Di Indonesia

  • Oleh : an

Rabu, 20/Janu/2016 05:03 WIB


JAKARTA (BeritaTrans.com) - Indonesia dewana ini muncul generasi teroris yang turun temurun, yang akan menyulitkan bagi bangsa ini untuk mengatasinya. "Proses deradikalisasi gagal. Yang terjadi dendam kesumat kian marak dan menjadi kayu bakar terorisme," kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S.Pane di Jakarta, Rabu (20/1/2016).Fenomena ini, lanjut dia, perlu dicermati semua pihak. Sebenarnya program deradikalisasi harus sejalan bersinergi dengan program penindakan yang profesional. Celakanya, menurut Neta, masing-masing pihak di jajaran aparat keamanan cenderung mempertinggi egosektoralnya. Akibatnya pelaksanaan tugas di lapangan saling merugikan satu sama lain. Ke depan, kata Neta, Bangsa Indonesia perlu pemimpin Densus 88 Anti Teror Polri yang berwawasan luas dan bisa mengendalikan anak buahnya di lapangan agar bertindak profesional. "Selain itu kendali BNPT yang mengakar ke seluruh unsur yang berhubungan dengan penanggulangan teror perlu ditingkatkan. Sehingga bangsa ini tidak hanya kebakaran jenggot saat aksi teror bom meledak," sebut Neta.Dampak BurukAksi teror yang terus merebak dan makin banyaknya jumlah pengikut kelompok teroris adalah sebagai dampak dari buruknya pola penangkapan yang dilakukan Densus 88 Anti Teror selama ini, yang cenderung bergaya algojo mengeksekusi mati tersangka di lapangan.Tugas Polri adalah melumpuhkan dan membawa tersangka ke dalam proses hukum dan bukan mengeksekusi matinya di lapangan.IPW menilai, cara-cara yang dilakukan Densus menyiksa dan mengeksekusi mati tersangka dalam penangkapan telah melahirkan dendam kesumat yang luar biasa, terutama terhadap Polri. "Di luar dugaan, pola penangkapan ini telah melahirkan sikap simpati untuk ikut "berjihad" melakukan balas dendam, baik dari para keluarga tersangka maupun kelompok kelompok radikal lainnya," terang Neta.Tak heran arus keberangkatan para simpatisan kelompok radikal ke Syuriah kian banyak dan diam-diam mereka kembali ke Indonesia setelah bergabung dengan ISIS.Kasus Bahrun Naim misalnya, papar semula dia bukan teroris. Naim hanya teknisi komputer yang suka mengkritisi sikap Densus di media-media online Islam. "Di tahun 2010 Naim tiba-tiba ditangkap di jalanan dan disiksa. Naim dituduh menyimpan senjata dan peluru. Saat itu juga di facebooknya muncul sikap simpati anak anak muda pada nasib Naim," sebut Neta.Akibatnya, mereka mencaci maki Densus. Akhirnya Naim divonis 2,5 tahun. Lepas dari penjara Naim ke Syuriah. Lalu bergabung dengan ISIS. Begitu juga dengan anak Imam Samudra yang masih remaja ke Syuriah. "Kasus-kasus munculnya teroris bar dan dendam berkelanjutan ini harus bisa dihentikan. Pola penangkapan dan interogasi Densus 88 Polri harus diperbaiki. Selain itu, dibutuhkan pemimpin Densus 88 Polri dan BNPT yang smart, berwawasan luas dan bisa memimpin anak buahnya dengan baik," tegas Neta.(helmi)

Tags :