Oleh : an
JAKARTA (BeritaTrans.com) Publik memahami bahwa Pertamina sebagai BUMN berarti adalah kepanjangan tangan pemerintah dalam menyediakan dan menyalurkan BBM serta bahan bakar elpiji bagi rakyat Indonesia.UU Migas yang mewajibkan Pemerintah untuk menjamin ketersediaan dan penyaluran elpiji. Tapi faktanya, dibebankan sepenuhnya oleh Pemerintah ke Pertamina.Sangat terlihat oleh publik bahwa Pertamina harus menjadi anak baik dan penurut terhadap Pemerintah. Walau pada dasarnya sesuai UU tentang Perusahaan Terbatas TPT) dan UU tentang BUMN, Pertamina disamping wajib mengejar keuntungan juga tidak boleh diintervensi oleh siapapun termasuk pemerintah apalagi elit politik.Disisi lain, Pertamina memang mengemban misi pemerintah misalnya dalam mendistribusikan BBM PSO (subsidi) dan elpiji PSO. Tetapi sesuai UU pula bahwa bukan berarti dengan tugas itu Pertamina dibolehkan untuk rugi.Pengertian itu yang harus dipahami terkait peran PSO BUMN.Kenapa demikian?Contoh nyatanya BUMN Garuda Indonesia. Walau Garuda adalah sebuah BUMN, perusahaan penerbangan itu ternyata menjual tiket penerbangan lebih mahal dari maskapai penerbangan swasta lainnya. Ternyata tidak pernah dipermasalahkan dan tidak pula menjadi masalah bagi Pemerintah.Terkait peran Pertamina dalam mengadakan dan menjual BBM di negeri ini, demi untuk menghasilkan uang bagi Pemerintah, Pertamina diberi tugas untuk memungut PBB-KB (Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor). Dan demi untuk menghemat devisa, Pertamina diwajibkan mencampur bbmnya dengan fame 20% khususnya untuk solar non PLN dan sebesar 30% untuk campuran khusus terhadap BBM PLN.Pencampuran BBM dengan fame yang dihasilkan dari sawit yang ada di negeri ini, jika dikaji lebih dalam hanya akan memberi keuntungan dominan bagi pengusaha sawit yang nota benenya adalah usaha konglomerasi di negeri ini. Parahnya lagi, fame itu bukan dominan sawit yang dihasil oleh petani rakyat kecil negeri ini.Akibat kewajiban tersebut dampak langsungnya terhadap Pertamina adalah Harga jual Solar untuk industri menjadi lebih mahal sehingga sulit bagi Pertamina untuk bersaing dengan BU-PIUNU (Badan Usaha Pemegang Izin Niaga Umum) swasta yang jumlahnya ada 84 perusahaan yang mendapat izin dari Pemerintah untuk boleh mengimpor/ mengeksport dan menjual BBM didalam negeri.Publik pantas pula untuk sangat mempertanyakan apakah BU-PIUNU swasta ini memunggut secara konsisten PBB-KB pada setiap penjualan BBM-nya kepada seluruh konsumennya?Lantas, siapa pula yang mengawasi kebenaran pungutan PBB-KB tersebut yang menurut UU wajib diserahkan dan menjadi hak Pemerintah daerah.Pertanyaannya pula , apakah pihak Pemda aktif melakukan pengawasan terhadap pungutan hingga penyetoran PBB-KB kepada Pemda?Tidak tertutup kemungkinan, kalau pun BU-PIUNU swasta itu membayar PBB-KB tetapi bisa saja tidak sepenuhnya sesuai dengan volume transaksinya. Masalah ini seharusnya dilakukan pengawasan yang ketat tapi apa yang akan diharapkan itu sulit terwujud karena PBB-KB merupakan domainnya pihak Pemerintah daerah yang kemampuannya dalam pengawasan masih sangat dipertanyakan.Namun harusnya ini diteliti dan diaudit lebih dalam oleh lembaga audit BePeKa tetapi sepertinya pihak BePeKa tidak terlalu tertarik atas perolehan pbb-kb ini.Selain itu solar yang dijual oleh bu-piunu swasta belum tentu dicampur FAME sebagaimana yang diwajibkan Pemerintah terhadap Pertamina dan anak Perusahaannya.Seharusnya Pemerintah melakukan uji lab atas BBM yang diwajibkan dicampur dengan fame dengan mengambil contoh dari bbm yang beredar di pasaran. Dan sayangnya pihak instansi yang terkait terkesan juga tidak terlalu berhasrat untuk melakukan ini. Entah mengapa?Besaran PBB-KB yang dipungut untuk penjualan bbn adalah sekitar 5 sampai dengan 7,5%.Artinya kewenangan penentuan besaran PBB-KB diatur dan ditetapkan oleh Pemda masing masing. Namun besarannya mengacu kepada UU yang berlaku terkait PBB-KB tersebut.Sementara dengan adanya kewajiban mencampur BBM solar dengan fame yang dihasilkan dari sawit (bio fuel) maka beda harga bbm yang dicampur 20% fame dengan yang tidak dicampur adalah sekitar Rp600-Rp700/liter.Tentu saja selisih harga antara BBM yang bermuatan fame dengan yang tidak, pasti sangat berpengaruh kepada pembeli yang akan lebih memilih membeli BBM tanpa fame. Pasalnya, harganya pasti lebih murah selain kualitas bbm tanpa fame sangat diyakin konsumen jauh lebih baik ketimbang BBM ber-fame.Kewajiban mencampur fame pada BBM solar, tentu saja menjadikan konsumsi solar pertamina berkurang yang diperkirakan sekitar 5,5 juta KL per tahun.Akibatnya, Pertamina tidak perlu impor solar karena produksi solar Pertamina dari kilang Pertamina malah berlebih, sekitar 280.000 barel/ bulan.Kelebihan solar tersebut pada dasarnya tidaklah membuat BUMN Pertamina menjadi untung, namun justru menimbulkan persoalan bagi Pertamina karena sulit dipasarkan.Penyebabnya adalah karena harga jual solar Pertamina pasti lebih mahal ketimbang solar import yang diimport BU-PIUNU swasta lainnya karena harga jual solar Pertamina harus dibebankan dengan PBB-KB dan harus di campur fame yang sangat ketat diwajibkan kepada BUMN energi itu.Pemerintah sepertinya tidak mau menyadari bahwa sesungguhnya persoalan yang dihadapi BUMN Pertamina adalah persoalan bagi Pemerintah pula.Jika persoalan yang dihadapi Pertamina justru diakibatkan karena keputusan atau kebijakan yang dibuat Pemerintah, harusnya itu bisa diatasi oleh Pemerintah.Pertamina Rugi berarti Pemerintah yang rugi begitu sebaliknya. Pemerintah seakan menutup mata terhadap keberadaan BU-PIUNU swasta yang bebas melakukan import Solar.Impor solar yang dilakukan pihak BU-PIUNU swasta tersebut yang sangat dipertanyakan apakah ketika dijual ke konsumen telah dibebankan PBB-KB dan juga diwajibkan mencampur dengan fame yang dihasilkan dari sawit milik pengusaha dalam negeri sebagaimana yang diwajibkan kepada Pertamina?Badan Usaha swasta itu (BU-PIUNU) juga tidak diwajibkan untuk ikut serta memperkuat ketahanan stock bbm nasional sebagaimana yang dilakukan terhadap Pertamina.(Sofyano Zakria, Direktur Puskepi)