Fenomena Taksi Online, Momentum Menata Angkutan Umum di Indonesia

  • Oleh : an

Minggu, 19/Mar/2017 12:48 WIB


JAKARTA (Beritatrans.com) -Taksi Kosti (Koperasi Sopir Taksi) yang dikelola eh para sopir beraplikasi kini sudah beroperasi di Kota Semarang dan Solo, Jawa Tengah (Jateng). Kosti merupakan koperasi taksi milik sopir."Pasti ada yang senang dan tidak senang dan itu hal wajar. Namun, negara wajib melindungi pengusaha yang ada dan warga yang akan menggunakannya," kata Kepala Lab Transportasi Unika Soegijopranoto Semarang Djoko Setijowarno, ST, MT kepada Beritatrans.com di Jakarta, Minggu (19/3/2017).Kini saatnya Pemerintah menata dan memberdayakan angkutan umum yang baik di Tanah Air. Momentum ini harus dimanfaatkan Pemerintah sebagai regulator untuk menata angkutan umum konvensional dengan angkutan berbasis online. "Semua harus dijaga dan dilindungi agar tetap tumbuh dan berkembang dengan baik," pinta Djoko.Menurutnya, ada permintaan pengelola transportasi online ada jalur khusus saat uji KIR agak berlebihan. Semua kendaraan yang di -KIR juga harus ikut antri. Artinya, sekarang jumlah kendaraan online jumlahnya tidak terhingga. "Tapi harus ingat, jangan sampai KIR dianggap sumber pendapatan bagi daerah," kata akademisi senior itu menandaskan. Dia menambahkan, KIR adalah upaya melihat kelaikan kendaraan apakah masih dapat beroperasi dengan baik atau tdk, supaya jika membawa penumpang, kendaraan itu dijamin aman. "Meski KIR tiap 6 bulan sekali, jika ada pool, setiap saat akan beroperasi dapat diperiksa lebih dulu," papar Ketua MTI Jawa Tengah itu lagi.Pembatasan kuota kendaraan, menurut Djoko, juga penting untuk menjaga agar tidak over supply yang berujung keburukan pelayanan, rebutan penumpang, saling banting tarif. IMG-20170318-WA0001Kuota Sesuai KebutuhanJika dibebaskan, lanjut akademisi senor itu, tidak mendukung keberadaan transportasi umum yang sedang proses pembenahan dan sebaliknya akan cenderung menambah kendaraan pribadi. "Transportasi online menginginkan sebanyak mungkin kendaraan ikut programnya, tapi mereka tidak memikirkan keberlanjutannya. Bagaimana jika yang ikut program transportasi online adalah mobil cicilan yang setiap bulan wajib mengangsur," tukas Djoko lagi. Sementara, pendapatan tiap bulan tidak mencukupi. Akhirnya, kendaraan tersebut akan disita dan pemilik mobil bangkrut. Dan tak bisa beroperasi lagi, karena tidak ada jaminan," kilah Djoko.Untuk mendapatkan kuota adalah dimulai dengan kajian kebutuhan (demand.) Jika supply melebihi demand, tentunya akan berakhir dengan kerugian. Harus ada "keseimbangan supply dan demand. Perusahaan aplikasi tidak menanggung itu, karena mereka tidak investasi kendaraan, berbeda dengan taksi resmi," tandas Djoko.(helmi)