Galangan Kapal Terganjal Bea Masuk Komponen Hingga 12%

  • Oleh :

Jum'at, 05/Sep/2014 06:13 WIB


JAKARTA (beritatrans.com) - Pelaku usaha galangan kapal nasional berharap pemerintah bersikap fleksible dalam menerapkan kebijakan fiskal komponen bea masuk yang mencapai 5 hingga 12,5 persen, agar dapat mendorong investasi dan daya saing.Kebijakan fiskal yang cukup memberatkan itu, menurut Ketua Umum Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) Eddy K. Logam, akan menjadi kendala utama terwujudnya negara poros maritim yang digagas oleh pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Jusul Kalla."Konsep itu cukup strategis, karena akan mendorong tumbuhnya industri galangan nasional. Namun bila kebijakan fiskal yang ada tetap dipertahankan, sulit bagi pelaku usaha menggolkan konsep tersebut,"kata Eddy, kemarin.Kendati demikian, dirinya optimis konsep poros maritimAkan terwujud dan saat iniIperindo sedang menghitung kebutuhan unit kapal dan nilai investasi bagi pembangunan kapal yang diperlukan untuk merealisasikan konsep tersebut. "Kita sedang hitung, tetapi kita harapkan konsep ini lebih diperjelas lagi," katanya.Menurut dia, jika memang di dalam konsep itu nantinya dibutuhkan kapal berskala besar dengan draft yang lebih dalam sekelas handymax, pihaknya juga siap membangun. "Galangan kita sudah siap membangun kapal sebesar itu," ujarnya.Eddy mengakui masalah kompetitivenes pembangunan kapal baru di Indonesia terbentur oleh kebijakan fiskal yakni bea masuk komponen sebesar 5-12,5 persen dan PPN atas penjualan kapal sebesar 10 persen serta pajak non-final sebesar dua persen.Kebijakan itu pula kata dia yang menghambat masuknya investasi sebesar Rp 4 triliun, diantaranya investor asal Belanda, Jepang dan Singapura. Sedangkan perusahaan lokal sebanyak empat investor salah satunya PT. Steadfast Marin.Berdasarkan data, sampai saat ini, jumlah industri galangan sebanyak 250 perusahaan. Meliputi kapasitas bangunan baru sebesar 900.000 DWT, kapasitas reparasi kapal 1.200.000 dwt dan fasilitas produksi terbesar 150.000 dwt. Meneurut Eddy, regulasi fiskal yang memberatkan pelaku usaha itu menjadi penyebab sulitnya industri galangan nasional bersaing dengan luar. Dimana harga kapal produksi galangan nasional lebih mahal hingga 30 persen, dengan nilai bunga bank yang mencapai 10 persen."Jangankan dengan galangan luar negeri, dengan galangan di Batam saja, kita sudah kalah bersaing. Karena di Batam, tidak dikenakan pajak, makanya mereka tumbuh besar,"jelasnya.Padahal, kualitas produksi kata tidak kalah dengan galangan kapal asing."Kualitas produksi sudah bisa bersaing, kapasitas kita tersedia, tinggal struktur harga yang harus dikurangi dengan menghapus kebijakan fiskal yang memberatkan," jelasnya. (ari).