YLKI: Pungutan Dana Ketahanan Energi Ilegal

  • Oleh : an

Rabu, 30/Des/2015 07:02 WIB


JAKARTA (BeritaTrans.com) - Pemerintah memutuskan akan memungut dana ketahanan energi pada masyarakat sebesar Rp200 per liter harga bahan bakar minyak. Pemerintah berdalih bahwa dana tersebut dilakukan atas dasar UU tentang Energi. "Pungutan dana energi tersebut tidak jelas dasar regulasinya bahkan terjadi penyimpangan regulasi," kritim Ketua YLKI Tulus Abadi di Jakarta, Rabu (30/12/2015).Menurutnya, yang disebut dalam UU Energi adalah depletion premium, bukan untuk memungut dana masyarakat dengan alasan dana ketanahan energi. "Dengan demikian, pungutan dana ketahanan energi dimaksud bisa dikatakan sebagai "pungutan liar"," sebut Tulus. Dana ketahanan energi dimaksud, kata dia, berpotensi untuk disalahgunakan, untuk kepentingan kebijakan non energi atau bahkan kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan ketahanan energi."Pasalnya, secara kelembagaan yang mengelola dana yang dipungut tersebut tidak jelas. Jikalau masih disatukan dengan dana APBN secara umum, maka potensi penyalahgunaannya sangat besar," jelas Tulus.Sampai detik ini, menurut YLKI, roadmap tentang ketahanan energi yang dimaksud pemerintah juga belum jelas, bahkan mungkin tidak ada. "Energi fosil itu perlu diberikan disinsentif dalam penggunaannya, secara filosofi adalah hal yang rasional. Namun demikian, ini bisa diterapkan jika masyarakat sudah ada pilihan untuk menggunakan energi non fosil (energi baru terbarukan)," papar Tulus.Oleh karena itu, YLKI mendesak, pemerintah harus memperjelas lebih dulu perihal regulasi yag dijadikan acuan, harus jelas dulu lembaga yang akan mengelola dana tersebut (harus lembaga independen dan terpisah dengan ESDM)."Selanjutnya harus jelas lebih dulu roadmap tentang ketahanan energi dan bahkan kedaulatan energi nasional. Dan yag terpenting juga harus ada pilihan lain selain energi fosil," terang Tulus.Oleh karena itu, tambah dia, sebelum hal ini bisa dipenuhi, maka pungutan dana ketahanan energi harus dibatalkan. Jangan bebani masyarakat dengan kebijakan yang belum jelas dasar hukum dan tujuannya," tegas Tulus.(helmi)

Tags :